Kembali Ucil larut dalam kehidupan sehari-hari, tidak lengkap kiranya
bila Ucil tidak membantu emaknya di
kebon, di dapur atau mengambil air di sendang yang tidak jauh dari rumahnya.
Setiap hari untuk mengambil air di sendang untuk keperluan mandi dan cuci,
Ucilah yang melakukan. Memang Ucil adalah bocah kecil yang mandiri sekaligus
berbakti dengan emaknya.
Hari itu, udara sangatlah
terik, meski mentari belum hinggap di puncak langit. Maka wajar saja bila penghuni
Hutan Kedung Siluman memilih beristirahat di hunian masing-masing
atau bercengkerama dengan sanak saudara di tempat-tempat yang teduh.
Kecemasan
dan kesedihan mereka telah hilang, sejak menyerahnya Wiro Libas dan
bala-tentaranya kepada bala tentara Kedung Siluman.
Namun kegembiraan dan
ketemtraman yang merebak penghuni seluruh Hutan
Kedung Siluman tidak berlangsung lama, Betapa tidak selama tiga bulan lebih
telah terjadi kekurangan pangan diantara mereka, lantaran semua sayur dan buah
yang biasanya tumbuh subur, kini telah
mongering akibat ulah kawanan belalang.
Selain sayur dan buah yang dimakan, batang-batangnyapun tidak disisakan.
Akibatnya banyak sudah rakyat hutan ini yang mati kelaparan.
Bukankah Hutan Kedung Siluman adalah hutan yang terkenal subur. Maka sudah barang tentu banyak kawanan hewan
dari hutan-hutan sekeliling, selalu mencoba menjarah atau bahkan menguasai
hutan ini. Maka tidak heran pula bila kawanan belalang dari hutan hutan mananpun
tidak segan-segan menjarahnya.
Lantaran jumlahnya yang
tidak terkira, maka kawanan belalang sama sekali tidak takut terhadap
siapapun. Tak pelak lagi peringai
kawanan ini sungguh sangat merugikan semua penghuni Kedung Siluman.
Akankah Ucil tinggal
diam, dalam menghadapi masalah yang menimpa sahabat-sahabatnya. Sudah barang
tentu Ucil berada di posisi terdepan untuk membrantasnya. Yang jelas kawanan
belalang itu, sudah tidak mau lagi diajak berunding. Untuk melawannyapun juga
tidak mungkin. Selain jumlahnya banyak, merekapun tidak memiliki peminpin yang
dipatuhi.
Sudah pasti keadaan ini
membuat panik semua kalangan istana hutan ini. Bukankah telah banyak upaya
membrantas belalang ini, namun hasilnyapun tetap nihil hingga kini. Yang paling merasa panik, sudah barang tentu
adalah Sri Baginda Raja Rimba.. Betapa tidak setiap waktu dia selalu menerima
laporan tentang kematian rakyatnya, lantaran kelaparan.
Apakah masalah ini akan
dibiarkan berlarut-larut, sementara setiap saat rakyatnya menjadi korban
serangan belalang. Perasaan ini selalu menghantui Sang Baginda setiap waktu.
Hingga telah beberapa lama Sang Baginda
tidak makan dan tidur. Meski dia
termasuk Raja Rimba yang telah kesohor namanya hingga seluruh
kawasan hitan di Pulau Jawa, namun apa daya menghadapi paceklik ini.
Sehingga dia kini hanya
rebah saja di tempat tidutnya. Tidak mampu berbuat apapun. Sementara Resi Kancil Sakti dari Bukit Klampisan
sudah beberapa lama tidak berada di padepokannya. Kepada siapa dia akan
mengadukan permasalahannya.. Ucilpun kali ini tidak mampu berbuat banyak.
Hingga akhirnya sampailah
ketelinga SENOPATI SINGO BROJO,
,tentang seorang resi yang mandraguna, yang
bergelar RESI NAGA SAKTI dari
Padepokan GUNUNG TUGEL
Banyumas. Seorang resi yang
menjadi panutan di seluruh Hutan Banyumas. Meski Padepokan Gunung Tugel
jaraknya cukup jauh dari Kedung Siluman.
Namun tanpa menunggu waktu lama
berangkatlah sang Senopati dengan pengawal-pengawalnya untuk menemui resi
tersebut.
“Saya
haturkan beribu hormat kepada engkau Baginda
Raja Rimba Kedung Siluman, semoga engkau dan rakyatmu selalu dalam keadaan
sehat “ sapa Sang Resi dengan penuh hormat dan santun.
“ Salam sejahtera kami haturkan kepada engkau Eyang Resi yamg kami
hormati. Atas budi baikmu berkenan
mengunjungi istanaku Kedung Selatan” jawab Sang Raja Rimba dengan perkataan
yang lirih.
“Terimakasih
kami juga haturkan atas segala penghormatnmu kepada diriku, yang sudah
merepotkanmu “ seru Sang Resi merendah.
“
Ah penghormatan ini tidak seberapa di banding dengan kebaikanmu,
Eyang Resi “ Sang Baginda menjawab
dengan senyum yang tipis, pertanda masih menyimpan kegetiran dalam lubuk
hatinya.
“
Jangan terlalu sungkan dengan kami ini, Baginda !. Bukankah sudah menjadi kewajiban kami untuk
menolong sesama. Lantas bagaimana dengan kesehatanmu, Baginda “ Tanya Sang
Resi.
33
“Hmmm. . . . sudah sekian
lama penyakitku tidak kuinjung sembuh, Eyang
Resi. . .!. Tapi lupakan saja penyakitku ini !. Yang lebih penting, adalah bagaimana
mengatasi keadaan rakyatku yang semakin menderita ? Kami harap Sang Resi berkenan menolong derita rakyatku ! “ pinta Baginda
Raja Rimba
dengan harap-harap cemas.
“Sebenarnya kami
mengharapkan sekali hadirnya sahabat kami Resi
Eyang Kancil Sakti dari Lembah
Klampisan untuk bersama – sama mengusir belalang-belalang itu. Bukankah
jarak lembah itu dengan Kedung Siluman
tidak begitu jauh, Baginda ? “ Tanya Sang Resi.
“Memang hanya setengah
hari perjalanan, namun Eyang Kancil Sakti tidak berada di padepokannya. Beliau telah
mengunjungi saudara-saudaranya di Gunung
Sindoro “ jawab Raja Rimba.
Mendengar perkataan Raja Rimba, Sang Resi hanya bisa menarik nafas panjang dan
sebentar-sebentar mengerutkan alisnya sambil menundukan wajahnya dalam-dalam.
Sri Baginda Raja Rimba hanya bisa menatap jauh ke depan dengan
tatapan yang kosong.
Rasa
sedih yang mendalam kini terlihat jelas di wajah Sang Resi apalagi Raja Rimba. Lantaran mereka
betul betul prihatin dengan derita yang ditanggung rakyat Kedung Siluman.
“Aku dengar di tengah Hutan Kedung Siluman telah tumbuh Bunga Penawar Seribu Penyakit di Puncak Bukit Seribu Jiwa. Tentunya bunga itu akan banyak manfaatnya
untuk me
nyingkirkan ulah kaawanan belalang. Karena bunga itu adalah tumbuhan
dewa yang sengaja ditumbuhkan ke marcapada, untuk kesejahteraan
penghuni bumi “ tutur Resi Naga Sakti.
“Semula kami memang berharap demikian . . . Eyang.
Namun apa daya kami hanya bisa
bersedih karena bunga itu sekarang mongering. Maka dari itu berilah kami petuah
agar bencana ini secepatnya selesai “ kata Baginda Raja Rimba.
“Tentu saja dengan senang hati !. Hanya
saja masalah yang melanda hutan ini, adalah masalah yang tidak bisa
dianggap gampang. Oleh karena itu. . . perkenankanlah kami memberi sedikit
pandangan tentang masalah paceklik ini “ seru Sang Resi.
“Oh. . . tentu saja Eyang,
bukankah telah disampaikan oleh Singo
Brojo, tentang keadaan hutan ini, Eyang. . .! “
“Memang , Sang Senopati Singo Brojo telah
menceritakan semuanya pada kami, bahkan kemarin siang beliau mengantar kami
untuk berkeliling hutan ini, Baginda ! “ jawab Sang Resi.
“Syukurlah kalau begitu. .
. saya tidak mampu berkata banyak Eyang !. Maka
kami Rakyat Kedung Siluman memohon nasehat Eyang bagaimana cara menangani
masalah ini” pinta Raja Rimba yang terus
mengulang permohonannya.
‘ Ha. .
. ha. . . ha Dengan segala kerendahan
hati, ijinkan kami berbicara apa adanya.. Wahai yang aku mulyakan, Baginda
Raja Rimba ! Bahwa belalang ini
sebenarnya bukan belalang berasal dari hutan sekeliling Kedung Siluman, melainkan bersarang di PUNCAK GUNUNG UNGARAN . Tepatnya di GOA TAPAK MADU, yang
letaknya persis di sisi barat kawah Gunung
Ungaran.
Baginda
yang mulia !. Anehnya belalang –
belalang ini tumbuh dan berkembang dari sebuah
Telur Emas yang dijaga SILUMAN BANAS PATI , yang amat menyeramkan dan sudah
barang tentu tidak segan- segan membunuh siapapun yang ada di depanya.
Siluman Banas Pati memeiliki tiga buah kepala
yang saling bersatu pada tubuh
yang tinggi besar dan kokoh. . Telur emas tadi di letakan di dalam mulut kepala
yang berada di tengah. Sedangkan kepala sebelah kanan dan kiri berfungsi untuk
menjaga telur emas tadi “ papar Sang
Resi.
“Lantas apa yang aku
lakukan, Eyang ? ” seru Raja Rimba yang telah merasa ciut nyalinya, setelah
mendegarkan penuturan resi yang bijak ini.
“Ambilah telur itu
Baginda. Bawalah ke Hutan Kedung Siluman. Setelah sampai disini pecahlah, niscaya
belalang-belalang itu akan kembali ke Tapak Madu. “ tutur Sang
Resi Naga Sakti dengan sorot mata yang tajam lantaran berniat membesarkan
nyali Raja Rimba..
“Biarlah nanti aku utus Singo Brojo untuk mengambilnya “ pinta Raja Rimba
“Brojo tidak akan mampu
mengalahkan Banaspati. Kesaktian Brojo belum cukup untuk mengalahkanya “ jawab
Sang Resi dengan perkataan yang keras
“Lantas siapa ! “
“Siapa lagi kalau bukan,
Engkau Baginda ! “
“Hmmm, . . . aku belum
sembuh, Eyang “
“Atau kematian akan terus
mengancam rakyatmu hingga musnah rakyat Kedung Siliman ? “
“Aduh berat nian cobaan
yang aku alami. . . ijinkan aku untuk turun dari singasana Kedung Siluman. Ah.
. . Eyang aku tidak mau mati konyol. Mohon carikan cara lain, yang penting
bukan telur emas itu Eyang “ pinta Raja Rimba yang merengek mirip anak kecil
“Baginda Raja Rimba Kedung
Siluman ! . .. . . Kesaktian dan kebesaran namamu telah
tersebar hingga pelosok hutan Tanah Jawa.
Sehingga siapapun akan menaruh rasa hormat dengan engkau. . . Baginda !. Untuk itu hanya engkau yang pantas
menghadapi Siluman Banaspati ! .
Bukankah itu sudah menjadi kehendak Tuhan Yang Kuasa ? ‘
seru Resi Naga Sakti.
Dihadapan Resi Naga Sakri, Baginda Raja Rimba kini bersikap layaknya anak kecil yang enggan
menerima perintah ortunya. Meski kesaktian Raja Rimba telah mencapai tataran
yang tinggi, namun sifat malas, angkuh, tidak suka menolong sesama ditambah
sifat gila hormat inilah yang membuatnya enggan berpayah demi rakyatnya,
“Aku
harapkan Baginda berkenan berangkat menuju Gunung
Ungaran besok sebelum matahari terbit. Sebelum ulah kawanan belalang
menjadi semakin ganas. Tidak menutup kemungkinan kawanan itu akan memakan
rakyatmu, bila sudah tidak ada lagi tumbuhan di hutan ini. Maka tidak ada cara lain, kecuali engkau hadapi Banaspati secara ksatria. Jangan lupa
ajaklah serta Ucil, anak yang berani “ pinta Sang Resi.
Baginda Raja Rimba hanya tertunduk lesu, kedua
lututnya bergetar, mulutnyapun kini terkunci rapat. Sudah pasti Baginda Raja
Rimba merasakan beban yang berat sekali. Namun masalahnya menjadi lain, bila
dia dihadapkan dengan kenyataan adanya rakyat Kedung Siluman yang meninggal
tiap hari. Inilah yang membuat dia bertekad memaksakan diri menghadapi Siluman Banaspati di Gunung Ungaran.
Sebagai suatu pilihan yang tidak bisa dihindarkan.
Matahari masih malu
berselimt langit ufuk timur, namun beberapa
penghuni Kedung Siluman sudah menyibukan
diri untuk berbenah mengawali kehidupan hari ini. Mereka adalah Raja Rimba yang didampingi Senopati Singo Brojo, puluhan prajurit
pengawal setia Baginda Raja Rimba.
Turut serta di rombongan
itu, tiada lain adalah Ucil yang ditemani Si Belang, Si Putih, Kilat
Menjangan, Rogo Branjangan dan puluhan anak buah Sembrani, yang menjadi
tunggangan para Ksatria Kedung Siluman.
Dengan sangat menyesal Eyang Resi Naga Sakti tidak ikut dalam rombonghan ini, lantaran dia
harus membimbing penghuni Hutan Gunung
Tugel Banyumas, untu mendapatkan
air,
karena saat ini hutan di seantero Pulau
Jawa telah mengalami kekeringan, akibat kemara
yang
cukup panjang.
Selama tiga hari baruklah
rombongan pasukan dari Kedung Siluman
tiba di Gunung Ungaran. Medan
yang mereka hadapi sungguh mampu menguji keberanian mereka. Tidak sedikit jalan
berkelok yang naik tajam mereka hadapi. Bahkan kerap kali mereka harus
menyeberangi sungai. Kadang pula harus menuruni jurang terjal.
Meski Sang Raja Rimba
belum pulih kesehatannya, namun karena telah banyak makan garam dalam
petualangan, maka meski dengan tertatih Sang Raja berhasil menapakan kakinya di puncak Gunung Ungaran.
Sejenak anggota rombongan
dari Kedung Siluman berdegup keras jantungnya, saat melihat mulut Gua Tapak Madu yang
menganga lebar telah menyambut kedatangannya.
Terkesan sangat angker dan mengundang maut bagi siapa saja yang masuk ke dalamnya. Dinding gua tersusun
dari batu alam yang besar dan kokoh. Mulut gua yang lebar itu banyak ditumbuhi
semak belukar., sehingga sulit untuk dilintasi.
Benarkah
kabar yang disampaikan Resi Naga Sakti tentang Siluman Banaspati penunggu gua
ini. Bisikan hati Raja Rimba yang demikian, selalu melekat kuat di hatinya.
Setelah cukup waktu
untuk melepas lelah mereka langsung membulatkan tekad untuk masuk kemulut gua. Terlihat jelas Raja Rimba masih ragu-ragu untuk menghadapi musuh yang
dianggapnya sangat menakutkan itu. Berapa banyak musuh yang pernah ia tundukan,
namun tetap saja menghadapi Siluman
Banaspati bagi dia, adalah hal yang
berat.
Ataukah Ucil yang harus
memberi inisiatif agar Banaspati mau
menunjukan diri. Memang benar , hanya Ucilah yang kemudian melangkah paling
depan mendahului Baginda Raja, seraya
berteriak keras meminta Banaspati menunjukan diri. Tak pelak lagi Baginda Raja bertambah menggigil
ketakutan.
“ He. . . Banaspati sejak kapan
kamu jadi pengecut. . . Hadapilah aku Ucil bocah dari Kedung Siluiman “
Suara Ucil menggema ke seluruh
dinding gua akibat dari pantulan dinding-dinding gua, menambah suasana di
dalam gua bertambah mencekam. Namun setelah ditunggu
Beberapa
lama belum juga terdengar suara balasan., Ucilpun bertambah penasaran hingga
dia mengulang tantangannya beberapa kali.
Namun
tidak beberapa lama , tiba-tiba mereka merasakan bumi bergoyang dan debu
disekitar mereka beterbangan, dibarengi dengan runtuhnya beberapa batu dinding
gua. Sehingga mereka harus berhamburan keluar untuk menyelamatkan diri masing-masing.
Bersamaan
dengan itu terdengarlah suara langkah
kaki yang berat mendekati mereka, menyusul kemudian terlihatlah makhluk yang amat menakutkan yang sekarang telah berdiri tegak di mulut
gua. Mahkluk itu tidak lain adalah Siluman
Banaspati.
Baru
kali ini mereka menyaksikan makhluk
raksasa yang sangat mengerikan. Besar tubuhnya beberapa kali besar tubuh Gajah Sona, namun tinggi badanya hampir
menyamai tinggi pohon kelapa. Warna kuilitnya hiyam legam, dengan kuku-kukunya
yang panjang melekat kokoh di empat jari tangan dan kaki.
Yang
lebih mengerikan lagi adalah, makhluk ini memiliki tiga buah kepala yang
melekat pada leher yang kokoh dan panjang. Anrhnya tiga kepala tadi mampu
bergerak lincah kesana-kemari. Dari masing-masing mulutnya delalu mengeluarkan
suara gemuruh dibarengi dengan semburan api yang menghanguskan apa saja yang
terkena. Oleh karena itu ketiga mulut
itu seringkali terbuka, hingga nampaklah telur
emas di dalamnya.
“Cil, bagaimana ini.. .
kau yang tadi buat ulah. . . sekarang hadapi sendiri siluman iru “ teriak Raja Rimba sambil berlari menjauh bersma dengan
pengawal-pengawalnya.
“Menyingkirlah Raja Rimba. . . aku akan hadapi siluman
ini sendirian “ balas Ucil.
“Kau tidak perlu takut
Cil. . . masih ada sahabat-sahabatmu yang siap membelamu “ teriak Rogo Branjangan yang didampingi sahabat-sahabat Ucil lainnya.
“He, , , ,Kadal Raksasa .
. . cepat hadapi aku. . . Rogo Branjangan
dari Hutan Kedung Siluman “ tantang Rogo
Branjanga, meski teriakan dia sama sekali tidak terdengar oleh siliman itu.
“Baiklah hewan-hewan tamak
dari Kedung Siluman, jangan banyak
bicara , ayo maju bersama agar aku tidak repot menelanmu “ jawab Banaspati dengan suara menggelegar
hingga memekakan telinga kawanan penghuni Hutan
Kedung Siluman.
“He . .
.siluman yang sombong, aku jamin engkau tidak akan mampu menelanku. Bersiaplah
untuk aku kubur dalam gua itu “ seru Sembrani
sambil mengangkat keuda kakinya.
“Grrr. .
.grrrr. . . bukan kamu lawanku. . . . he. . hewan-hewan nekad . . .cepatlah
maju siapa diantara kalian yang bergelar
Raja Rimba Kedung Siluman, itulah
lawanku “ sahut Banaspati sambil
terus mengeluarkan api dari ketiga mulutnya.
“He bocah kecil yang harus
melawanku adalah raja yang bijak, arif, mau berkorban da selalu memikirkan rakyatnya, peduli sesama
dan rendah hati. Kau kah raja itu. . . ? “ gertak Sang Siluman.
“Sudah barang tentu akulah
raja itu “ jawab Ucil yang memberanikan
diri berbohong demi menyelamatkan rakyat Kedung
Siluman.
“Glegerrrr. . .glegerrrr…aku tidak percaya kaulah raja itu “ bantah Siluman Banaspati.
“Darimana kau tahu aku
bukan Raja Kedung Siluman “ desak
Ucil.
“Grr. . .grrr. . .engkau
anak yang jujur dan berani. Bila engkau yang jadi raja, tentunya rakyat Kedung
Siluman akan tentram. Tapi nyatanya rakyat Kedung Siluman tak pernah merasa tentram. Maka engkau pasti bukan Raja Kedung Siluman. Sekarang jangan berbohong
mana Raja Kedung Siluman yang
sebenarnya ?” gertak Sang Banaspati.
“Kali ini aku tidak bohong
akulah raja Kedung Siluman. Bunuhlah aku, kalau engkau berani “ seru Kilat Menjangan.
“Mestinya aku jumpai Rakyat Kedung Siluman yang bahagia,
selalu memegang amanah pada siapa yang memberikan. Itu jika kau yang
menjadi raja. Tetapi nyatanya, yang
terjadi justru sebaliknya. Maka engkau tentunya bukan rajanya. Maka
mundurlah karena engkau bukan jatah perutku “
“Aku Sembrani, kuda jantan perkasa Raja
Kedung Siluman. Bunuhlah aku, agar engkau puas. Lantas serahkan telur
emasmu “
“Aku tahu engkau juga
bukan raja Kedung Siluman, maka akibatnya masyarakat Kedung Siluman bukan masyarakat
pemberani dan tidak mau berkorban untuk sesama, tidak seperti engkau. Hayooo. .
. mana yang lain. . . mana Raja Kedung
Siluman yang sebenarnya “ ujar Banaspati yang tidak mau lagi dibohongi.
Setelah berkali-kali Siluman Banaspati terbukti tidak bisa dibohongi lagi, maka
percuma saja mereka bergilir mengaku Raja
Kedung Suluman. Sehingga atas desakan Rogo
Branjangan dan Senopati Singo Brojo,
akhirnya terpaksa Raja Rimba mengaku dialah raja sebenarnya.
“Sekarang baru aku
percaya, engkaulah Raja Rimba Kedung
Siluman, yang dari tadi sembunyi ketakutan. Bersiaplah bertempur denganku
hidup atau mati. Bukankah tujuan engkau kemari untuk mendapatkan telur emas?.
Nah sekarang bersiaplah untuk pulang ke alam baka “ seru Banaspati.
Tanpa basa basi lagi
kepala Banaspati secara
bergiliran menerkam tubuh Raja Rimba tanpa kenal ampun. Serangan
demi serangan terus terus dilakukan. Namun demikian, walau bagaimanapun Raja Rimba termasuk pendekar
pilih tanding, karena telah banyak makan garam di dunia petualangan. Maka menghadapi serangan Banaspati diapun bisa menyelamatkan diri, walau harus jatuh bangun
kesana kemari.
“Grrrr…..grrrr
ternyata kau memang Raja Rimba Kedung Siluman
yang sebenarnya. Aku mengakui sungguh tinggi ilmu beladirimu. Baiklah
sekarang hadapi seranganku selanjutnya “ seru Siluman Gunung Ungaran itu.
Siluman Banaspati
sekarang bertambah kalap hatinya, tanpa ampun lagi dia meningkatkan
serangannya. Banaspati terlihat
mengamuk dengan serangan membabi-buta kesana kemari, sehingga terlihat Raja Rimba semakin bertambah tersudut danrepot. Sudah
barang tentu Si Raja Rimba menjadi terkuras tenaganya. Hingga akhirnya
dia terkapar tidak berdaya menunggu Banaspati melumat tubuhnya.
“Ampun. . .ampun aku Banaspati. . . aku menyerah “ ucap Raja Rimba merintih.
“Ayo kalahkan aku, agar engkau
bisa mendapatkan telur emasku. Hai Raja
Rimba Perkasa “ tantang Banaspati.
“Aku sudah kalah, aku
tidak mampu mengalahkan engkau lagi. Aku mengakui kesaktianmu “ rintih Raja Rimba.
“Grrr. . . grrr. . .
.kalau begitu bersiaplah untuk aku kirim ke neraka “ seru Banaspati
Raja Rimba sudah tidak mampu lagi berbuat apa, demikian
juga para sahabat-sahabatnya hanya bisa memandanginya dari kejauhan. Sementara
itu Siluman
dari Gunung Ungaran telah
mendekatkan kepalanya, siap mencabik cabik tubuh Raja Rimba. Menghadapi ancaman Banaspati, Raja
Rimba hanya bisa memejamkan mata.
“He. . .Raja Rimba,
sekarang bukalah matamu, perhatikan siapa sebenarnya aku “ Tiba –tiba dia
mendengar suara Banaspati yang berganti dengan suara yang telah lama dia kenal.
Maka tanpa ragu ragu diapun membukakan kedua matanya.
“Oh. . .Bagina Ayahanda Singo Ningtyas. . .maafkan putranda
yang tidak tahu diri ini “ seru Raja
Rimba yangh membungkukan badanya dihadapan ayahanda, yang baru saja berubah
wujud.
“Betul anaku. . . Banaspati hanyalah jelmaan dari aku. Anaku.
. .Singo Luhur, atau Baginda Raja Rimba. Engkau sudah tidak mau lagi
mentaati pesan orang tuamu, yang dulu disampaikan kala engkau naik tahta
menggantikanku. Maka dari itu buanglah jauh-jauh sifat sombong, tamak, iri
dengki. Sehingga rakyatmu di Kedung Siluman menjadi tentram dan damai.
Aku akan berikan engkau tiga telur emas yang selama ini kau
cari, gunakanlah salah satu untuk mengusir kawanan belalang. Sedangkan yang dua
sisanya, simpanlah dan gunakan apabila terpaksa. Ingatlah pesan ini anaku ! “
tutur Baginda Singo Ningtyas.
Raja Rimba kini hanyalah
mampu menundukan wajahnya dihadapan ayahnya yang sangat dia segani. Tanpa
sepatah katapun mampu dia ucapkan. Seluruh wajahnya kini basah lantaran air-matanya
yang terus mengalir.
Setelah cukup sudah
nasehat-nasehat yang telah diberikan kepada putranya, akhirnya Baginda Singo Ningtyas kembali ke Gunung
Wilis untuk meneruskan pertapaannya.
Telur emas yang diburu Ksatria Kedung
Siluman kini diserahkan kepada
putranya, untuk mengusir kawanan belalang yang telah mengancam Penghuni Kedung
Siluman. Hingga akhirnya tentramlah sudah Hutan
Kedeung Siluman.
HAMDI BEFFANANDA AJI
Tidak ada komentar:
Posting Komentar