Selasa, 17 April 2012

Bulan Bicaralah Padaku


Memasuki masa akhir bulan April tahun ini, angin malam yang turun dari Gunung Ungaran mulai menggigit tulang semua penghuni lereng gunung itu. Mendung hitam yang biasa menyelimuti langit Kabupaten Semarang kini hilang, berganti dengan kerlipan bintang yang menghiasi langit hitam. Sang rembulan yang lama jarang menampakan diri, kini menampakan wajahnya yang bundar dan kuning menerangi malam malam sepanjang akhir Bulan April ini.

Penghuni lereng Gunung Ungaran kini tak lagi terkungkung hujan seharian disertai petir dan guruh yang bersautan menakutkan. Sehingga mereka semua memilih untuk berlindung di balik selimut tidur. Apalagi bagi sebagian besar anak anak, malam malam yang mulai diterangi sinar bulan membuat mereka berceria bersama di pekarangan rumah yang mulai mengering. Kawanan Tomcat   dan ulat bulu yang bulan kemarin banyak memenuhi pekarangan mereka kini telah lenyap. Mereka kini, setelah belajar saling berteriak  memanggil dan mengajak lainnya untuk berlarian,  berkejaran,  saling bernyanyi lagu-lagu ceria.

Di bawah sinar bulan yang bulat penuh, mereka duduk bergerombol berkelakar tentang apa saja. Terkadang mereka menceritakan kejadian kejadian lucu yang mereka jumpai tadi pagi di sekolah, yang segera disambut derai tawa mereka semua. Apalagi hari besok mereka libur, karena mulai esok pagi kakak kelas mereka harus menempuh ujian nasional.

Entah karena kagum dengan wajah bulan yang bulat menguning, mereka kini mengarahkan wajahnya ke atas, menyaksikan bulan yang tepat lurus di atas kepala mereka. Tak hentinya mata mereka melototi bulan itu, bulanpun hanya diam membisu tak sepatah katapun dia sapa pada anak anak di bawahnya yang penuh telisik memperhatikanya.

“Siapa sebenarnya bulan itu ?, teman teman !” teriak Savitri kepada teman temannya. Semuanya diam karena tidak tahu jawaban apa yang harus mereka berikan kepada Savitri.

“Aku sering bertanya pada bapak dan ibu, mereka selalu memberiku jawaban hanya dengan senyuman. Apa mereka juga tidak tahu ?” kembali Savitri bertanya kepada teman temanya yang duduk bersebelahan denganya.

“Kata neneku,  bulan adalah rumah nenek sihir yang terbakar “ jawab Sebastian.

2
“Lantas mengapa rumah nenek sihir itu terbakar  Iyan ?” Savitri malah menjadi penasaran dengan jawaban Sebastian .

“Entahlah Fitri !, neneku pernah cerita. Nenek sihir itu sangat jahat. Tetapi pada suatu hari dia tidak sengaja menjatuhkan lampu minyak yang ada di kamar tidurnya dalam rumah besarnya. Api segera berkobar karena minak tanah pada lampu itu membasahi lantai kayu rumah nenek sihir itu. Dan karena rumahnya sangat besar, hingga kini nyali api itu belum padam”

“Aku tidak percaya, Yan !” sahut Galang lantang.

“Eh, lihatlah  bulan itu ! sepertinya bergambar seorang nenek yang menangis !” terang Sebastian.

“Oh ya aku juga lihat, sepertinya Iyan benar “ tutur Savitri.

“Ah mana ada rumah nenek sihir di atas sana ?” kembali Galang menyanggah mereka.

“Tapi menurutku bulan itu adalah mata raksasa bermata satu yang hidup di luar bumi “ pendapat Handoko tadi malah semakin membuat mereka bimbang. Sehingga kini mereka hanya diam membisu untuk beberapa lama. Namun wajah mereka semau tidak henti hentinya memandang sang bulan. Seandainya bulan itu mampu berbicara seperti kita, tentunya anak anak desa yang penasaran itu mampu mendapatkan jawaban yang jelas.

“Teman teman !, pamanku pernah bercerita tentang bulan. Bulan itu berasal dari seekor naga raksasa yang mulutnya mampu menyemburkan api. Bulanlah yang menjadi api naga itu ! ”. Di tengah ketidaktahuan mereka tentang bulan, Prakoso mencoba untuk menjelaskan tentang bulan kepada teman temanya.

“Mengapa api itu tidak pernah padam ? “ tanya Sebastian.

“Sang naga itu sengaja terus menyemburkan api itu agar kita tidak dalam kegelapan bila malam hari “ jawab Prakoso.

“Benar juga jawaban Prakoso, tapi besok besok coba aku tanyakan pada Bu Guru Kadarwasih, siapakah sebenarnya bulan itu”

 “Aku setuju, nanti kita coba tanyakan bersama sama agar kita puas

3
***

Pagi pagi benar mereka sudah berada di depan ruang guru, sambil berbisik bisik mereka semua langsung berjalan menuju meja Bu Kadarwasih guru kelas mereka. Bu Kadarwasih menjadi kaget bukan kepalang menyaksikan mereka yang bersama sama sudah ada di depan mejanya.

“Apa yang terjadi anak anaku sayang ?” Senyum Bu Kadarwasih masih menghiasi bibirnya meski dalam hatinya merasa penasaran dengan kedatangan mereka semua.

“Bu Guru ! aku, Galang, Iyan. Praseto dan handoko kemarin kemarin berbincang  masalah siapa sebenarnya bulan !” sahut Savitri.

“Berbincang masalah bulan ?. Oh bagus !, kalian memang anak ibu yang pandai. Bagaimana hasilnya ?” tukas Bu Savitri.

“Kami belum tahu, bu !. Kata nenek Sebastian, bulan itu rumah nenek sihir yang terbakar. Kata Handoko bulan sebenarnya adalah mata raksasa, tapi menurut Prakoso bulan itu bola api yang disemburkan dari mulut naga, yang benar yang mana ya bu ?” tanya Savitri dengan polos.

“Anak anaku !, sekarang juga kamu masuk kelas, nanti ibu jelaskan di depan kelas kamu. Kebetulan hari pertama ini ibu akan meneruskan pelajaran IPA. Nanti ibu akan jelaskan apa sebenarnya bulan itu ?”

“Nggak mau, bu !, Savitri dan teman teman minta sekarang juga ibu menjelaskan tentang bulan. Semua teman teman sekarang masih penasaran “ desak Savitri yang disambut dengan anggukan kepala teman temanya.

“Baiklah anaku sayang !, memang kalian anak ibu yang kritis. Bulan itu bukan siapa siapa. Bulan itu ya sepeti bumi kita ini. Hanya ukuranya lebih kecil. Bulan kelihatan bercahaya karena pantulan sinar matahari, jadi bukan rumah nenek sihir yang terbakar atau semburan naga raksasa, apalagi mata raksasa. Karena bulan mengelilingi bumi maka bulan disebut satelit bumi. Nah itu jawaban sementara dari ibu, nanti kita lanjutkan di kelas, yo anak anaku kita masuk kelas !!!!”. Kedua tangan Bu Kadarwasih merangkul mereka semua dan menariknya dengan penuh sayang menuju kelas mereka ***