Tampilkan postingan dengan label cerita untuk kawanku. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label cerita untuk kawanku. Tampilkan semua postingan

Selasa, 17 April 2012

Bulan Bicaralah Padaku


Memasuki masa akhir bulan April tahun ini, angin malam yang turun dari Gunung Ungaran mulai menggigit tulang semua penghuni lereng gunung itu. Mendung hitam yang biasa menyelimuti langit Kabupaten Semarang kini hilang, berganti dengan kerlipan bintang yang menghiasi langit hitam. Sang rembulan yang lama jarang menampakan diri, kini menampakan wajahnya yang bundar dan kuning menerangi malam malam sepanjang akhir Bulan April ini.

Penghuni lereng Gunung Ungaran kini tak lagi terkungkung hujan seharian disertai petir dan guruh yang bersautan menakutkan. Sehingga mereka semua memilih untuk berlindung di balik selimut tidur. Apalagi bagi sebagian besar anak anak, malam malam yang mulai diterangi sinar bulan membuat mereka berceria bersama di pekarangan rumah yang mulai mengering. Kawanan Tomcat   dan ulat bulu yang bulan kemarin banyak memenuhi pekarangan mereka kini telah lenyap. Mereka kini, setelah belajar saling berteriak  memanggil dan mengajak lainnya untuk berlarian,  berkejaran,  saling bernyanyi lagu-lagu ceria.

Di bawah sinar bulan yang bulat penuh, mereka duduk bergerombol berkelakar tentang apa saja. Terkadang mereka menceritakan kejadian kejadian lucu yang mereka jumpai tadi pagi di sekolah, yang segera disambut derai tawa mereka semua. Apalagi hari besok mereka libur, karena mulai esok pagi kakak kelas mereka harus menempuh ujian nasional.

Entah karena kagum dengan wajah bulan yang bulat menguning, mereka kini mengarahkan wajahnya ke atas, menyaksikan bulan yang tepat lurus di atas kepala mereka. Tak hentinya mata mereka melototi bulan itu, bulanpun hanya diam membisu tak sepatah katapun dia sapa pada anak anak di bawahnya yang penuh telisik memperhatikanya.

“Siapa sebenarnya bulan itu ?, teman teman !” teriak Savitri kepada teman temannya. Semuanya diam karena tidak tahu jawaban apa yang harus mereka berikan kepada Savitri.

“Aku sering bertanya pada bapak dan ibu, mereka selalu memberiku jawaban hanya dengan senyuman. Apa mereka juga tidak tahu ?” kembali Savitri bertanya kepada teman temanya yang duduk bersebelahan denganya.

“Kata neneku,  bulan adalah rumah nenek sihir yang terbakar “ jawab Sebastian.

2
“Lantas mengapa rumah nenek sihir itu terbakar  Iyan ?” Savitri malah menjadi penasaran dengan jawaban Sebastian .

“Entahlah Fitri !, neneku pernah cerita. Nenek sihir itu sangat jahat. Tetapi pada suatu hari dia tidak sengaja menjatuhkan lampu minyak yang ada di kamar tidurnya dalam rumah besarnya. Api segera berkobar karena minak tanah pada lampu itu membasahi lantai kayu rumah nenek sihir itu. Dan karena rumahnya sangat besar, hingga kini nyali api itu belum padam”

“Aku tidak percaya, Yan !” sahut Galang lantang.

“Eh, lihatlah  bulan itu ! sepertinya bergambar seorang nenek yang menangis !” terang Sebastian.

“Oh ya aku juga lihat, sepertinya Iyan benar “ tutur Savitri.

“Ah mana ada rumah nenek sihir di atas sana ?” kembali Galang menyanggah mereka.

“Tapi menurutku bulan itu adalah mata raksasa bermata satu yang hidup di luar bumi “ pendapat Handoko tadi malah semakin membuat mereka bimbang. Sehingga kini mereka hanya diam membisu untuk beberapa lama. Namun wajah mereka semau tidak henti hentinya memandang sang bulan. Seandainya bulan itu mampu berbicara seperti kita, tentunya anak anak desa yang penasaran itu mampu mendapatkan jawaban yang jelas.

“Teman teman !, pamanku pernah bercerita tentang bulan. Bulan itu berasal dari seekor naga raksasa yang mulutnya mampu menyemburkan api. Bulanlah yang menjadi api naga itu ! ”. Di tengah ketidaktahuan mereka tentang bulan, Prakoso mencoba untuk menjelaskan tentang bulan kepada teman temanya.

“Mengapa api itu tidak pernah padam ? “ tanya Sebastian.

“Sang naga itu sengaja terus menyemburkan api itu agar kita tidak dalam kegelapan bila malam hari “ jawab Prakoso.

“Benar juga jawaban Prakoso, tapi besok besok coba aku tanyakan pada Bu Guru Kadarwasih, siapakah sebenarnya bulan itu”

 “Aku setuju, nanti kita coba tanyakan bersama sama agar kita puas

3
***

Pagi pagi benar mereka sudah berada di depan ruang guru, sambil berbisik bisik mereka semua langsung berjalan menuju meja Bu Kadarwasih guru kelas mereka. Bu Kadarwasih menjadi kaget bukan kepalang menyaksikan mereka yang bersama sama sudah ada di depan mejanya.

“Apa yang terjadi anak anaku sayang ?” Senyum Bu Kadarwasih masih menghiasi bibirnya meski dalam hatinya merasa penasaran dengan kedatangan mereka semua.

“Bu Guru ! aku, Galang, Iyan. Praseto dan handoko kemarin kemarin berbincang  masalah siapa sebenarnya bulan !” sahut Savitri.

“Berbincang masalah bulan ?. Oh bagus !, kalian memang anak ibu yang pandai. Bagaimana hasilnya ?” tukas Bu Savitri.

“Kami belum tahu, bu !. Kata nenek Sebastian, bulan itu rumah nenek sihir yang terbakar. Kata Handoko bulan sebenarnya adalah mata raksasa, tapi menurut Prakoso bulan itu bola api yang disemburkan dari mulut naga, yang benar yang mana ya bu ?” tanya Savitri dengan polos.

“Anak anaku !, sekarang juga kamu masuk kelas, nanti ibu jelaskan di depan kelas kamu. Kebetulan hari pertama ini ibu akan meneruskan pelajaran IPA. Nanti ibu akan jelaskan apa sebenarnya bulan itu ?”

“Nggak mau, bu !, Savitri dan teman teman minta sekarang juga ibu menjelaskan tentang bulan. Semua teman teman sekarang masih penasaran “ desak Savitri yang disambut dengan anggukan kepala teman temanya.

“Baiklah anaku sayang !, memang kalian anak ibu yang kritis. Bulan itu bukan siapa siapa. Bulan itu ya sepeti bumi kita ini. Hanya ukuranya lebih kecil. Bulan kelihatan bercahaya karena pantulan sinar matahari, jadi bukan rumah nenek sihir yang terbakar atau semburan naga raksasa, apalagi mata raksasa. Karena bulan mengelilingi bumi maka bulan disebut satelit bumi. Nah itu jawaban sementara dari ibu, nanti kita lanjutkan di kelas, yo anak anaku kita masuk kelas !!!!”. Kedua tangan Bu Kadarwasih merangkul mereka semua dan menariknya dengan penuh sayang menuju kelas mereka ***

Jumat, 17 Februari 2012

Patualangan ke Negeri Antahberantah


Ucil kembali disibukan dengan pekerjaan emaknya di dapur, mengambil air di sendang dekat rumahnya dan memetik sayur di kebun. Sehingga seharian dia tidak bermain dengan sahabat – sahabatnya di hutan.  Setelah selesai pekerjaan membantu emaknya, siang hari dia di kebon sayur emaknya, untuk mencabut tanaman sayur yang telah menguning, karena kekurangan air.
   Memang saat itu, kemarau panjang telah melanda Hutan Kedung Siluman, sudah banyak tanaman dan pohon besar yang telah menggugurkan daunnya.. Sahabat – sahabatnya sudah agak lama tidak makan sayur, hanya memakan dahan – dahan itupun yang telah menguning.
   Sejenak Ucilpun istirahat sejenak, setelah pekerjaan di kebon emaknya usai sudah. Dia kini duduk bersandar di pohon mangga depan gubugnya. Sementara emaknya yang sudah renta memilik tidur siang di kamarnya yang reot. Tidak lupa teman saat dia kesepian, seruling bambu kesukaannya ia mainkan. Ucilpin kini hanyut dengan irama serulingnya , mengalun merdu menembus Hutan Kedung Siluman yang sedang meranggas menghadapi kemarau panjang.
  Langit  begitu cerahnya, biru terhampar melingkungi Hutan Kedung Siluman. Ucilpun merasa sejuk dengan semilir angina kemarau yang bertiup perlahan. Sementara itu suara seruling bamboo semakin mengalun merdu, menambah kekaguman Ucil terhadap alam sekitar tempat dia dan emaknya hidup.  Namun di tengah langit biru yang cerah tampaklah cahaya berkilau, laksana bintang yang berjalan mendekati dia.
   “Sinar apa ini.?. Bukankah siang hari tidak ada bintang ?. Apa ini pertanda akan datangnya bahaya ?. . semoga saja pertanda akan turun hujan ! “  seru Ucil lirih. Belum sempat Ucil berdiri dari tempat duduknya, sinar itu sekarang berada di depanya hanya berjarak beberapa puluh langkah. Kini jelas sudah wujud sinar tang berkilau, yaitu sebuah lingkaran besar yang  dindingnya bersekat dan memanjnag membentuk lorong tak berujung.
    Dengan penuh waspada Ucil mendekati lorong tersebut untuk meneliti apa sebenarnya benda itu. Belum lama Ucil berdiri di lorong itu. Tiba- tiba sebuah tenaga yang besar sekali menyedot tubuhnya hingga masuk ke dalam lorong. Sudah barang tentu Ucilpun mengerahkan sekuat tenaga untuk keluar lorong itu., namun semua tenaganya hanya sia - sia saja. Akhirnya kini Ucil merangsek tersedot ke dalam lorong itu. Entah menuju kemana.
  Sdah agak lama Ucil terbawa gaya tarik lorong bercahaya itu, Karena itu tenaga
diapun menjadi habis. Sampai akhurnya dia merasakan tubuhnya terpental dan jatuh di suatu tempat. Bersamaan dengan itu lorong bercahaya itupun hilang dari pandanganya entah kemana.
   Kini dia hanya mampu menarik nafas dalam – dalam dan berusaha menenangkan perasaan yang tidak menentu. Setelah mampu menenangkan perasaanya, barulas Ucil sadar, bahwa kini dia telah berada di tempat asing dan jauh dari rumahnya.
   Tempat itu banyak dipenuhi oleh banyak bangunan besar dan menjulang tinggi, seperti perbukitan di hutannya, tetapi di sini tidak didapati pepohonan. Keheranan semakin menjadi-jadi karena di langit dia melihat langit tidak berwarna biru, tetapi berwarna jingga kemerahan.
   Ucilpun banyak melihat manusia yang lalu – lalang di sekitar bangunan besar itu dan semua manusia itu sama sekali tidak menghiraukan kedatangan Ucil merasa sedih hatinya, karena keramah-tamahan di sini sangat berbeda disbanding di Kedung Siluman. Atau kehidupan disini sudah tidak ada lagi keperdulian antar sesama.
   Mereka bepergian kesana-sini menggunaan kereta yang bisa melayang tetapi tidak memiliki roda dan tidak mengeluarkan suara. Tibalah Ucil kini pada rasa ketidakpercayaan dirinya sendiri.  Apakah dia berada di alam siluman, atau di Kerajaan Laut Kidul atau hanya mimpi belaka seperti menari di bulan.
   Hingga akhirnya Ucil hanya bisa berjalan menyelusuri jalan yang keras dan halus menuruti kemana kakinya melangkah entah kemana, bertemu siapa dan minta tolong pada siapa ?. Sepanjang dia berjalan tak menentu, dia hanya teringat kepada emaknya seorang. Hal yang paling membuat hatinya sedih, adalah bila dia tahu emaknya kesepian ditinggal dia.
      Tak lama melangkah dia mendengar suara langkah kaki yang berat mendekatinya.    
       Tanpa  mengurangi kewaspadaan diapun berhenti untuk menunggu sosok yang berjalan   
       mendekatinya.
   “Selamat datang di lorong waktu th 5040, aku mengemban tugas dari Sang Pemimpin untuk menjemputmu, kawan ! “
   “He. . .Siluman aneh, siapa namamu ? darimana engkau datang ?” tanya Ucil.

   ‘Siluman ?. . di programku tidak ada kata siluman, aku hanya cyber atau robot ?”  jawab makhluk aneh yang berhadapan dengan Ucil.
   “Robot ? jadi namamu robot ?. . . Di hutanku tidak ada robot, juga nggak ada hewan yang tubuhnya kaya kamu, Apa engkau kera besi ? “ tanya Ucil penasaran.
   “Tuuut.. .tiiit aku bukan manusia juga bukan hewan, aku hanya mesin elektronik saja” jawab sang robot.
   “Ah, aku jadi tambah tak mengerti. Sudah seharian aku disini, aku jadi bingung. Tempat apa ini ? dan dimana aku ?. Kasihan emaku di rumah tidak ada yang Bantu. Aku ingin pilang. Kemana jalan pulang ke  Kedung Siluman ?”  tanya Ucil.
   “Itu masalah gampang, nanti akan aku antar engkau pulang, agar kau bisa bertemu emakmu serta sahabat – sahabatmu Rogo Branjangan, Elang Mas, Kilat Menjangan, Sembrani. Kancil Sakti, Kijang Perkasa dan Kijang  Lelono, Naga Sanca , Belang dan Si Putih..
   “Darimana kau tahu nama teman-temanku? Apa kamu pernah ketemu mereka ?” desak Ucil.
   “Nanti kau akan tahu setelah ketemu Sang Pemimpin. Maka ikutlah kami “ jawab Robot,“Untuk apa “ seru Ucil.
   “Aku tidak tahu, aku hanya menjalankan tugas. Tuuuut. . . tiiiit. Sekarang ikutlah denganku. Perlu kau ketahui kami tidak bermaksud jahat denganmu”  jawab sang robot sambil menuntun Ucil menuju mobil yang sudah siap menunggu dari tadi.
   “Masuklah ke mobil, manusia kecil ! “ pinta sang robot.
         “Masuk ke mana ? “ jawab Ucil dengan muka bengong.
   “Masuk ke mobil ini, dengan mobil ini akan kuantar kau ke Sang Pemimpin “
   “Mobil. . .apa itu mobil ?” tanya Ucil yang belum juga tahu maksud robot itu.
   “Mobil adalah kendaraan yang digunakan manusia di jaman ini, Sama seperti kamu naik kuda di hutanmu”. Jawab sang robot.

   “Sampaikan pimpinanmu aku tidak akan lama-lama, emak akan mencariku, Kasihan
dia “ pinta Ucil.
        “Kamu bisa minta apa saja setelah kau ketemu “
 Ucil kini terdiam seribu bahasa, yang bisa dia lakukan hanya menuruti saja kemana
mobil itu melaju. Tak henti-hentinya Ucil dihinggapi perasaan kagum terhadap mobil yang dia naiki sekaligus perasaan ceria. Rasa ingin tahunya yang kuat terhadap mobil sebenarnya kuat sekali. Namun penasaran terhadap niat Sang Pemimpin ingin menemuinya lebih kuat lagi.
 Terasa hanya sekejap saja Ucil telah sampai pada sebuah bangunan  yang besar
sekali berwarna biru muda. Di dalam bangunan itu terdapat ruangan rapat yang besar dan telah berkumpul puluhan manusia yang aneh-aneh, yang menunggu kedatangan Ucil. Mereka duduk di melingkar dan di sekitarnya terdapat peralatan yang Ucil sendiri tidak tahu.
 “Selamat Datang  Ucil Si Tarzan Kecil. Selamat Datang di  KOTA   INDIES.  Silakan
engkau mau duduk di sebelah mana, anak manis ! “ Jawab Sang Pemimoin.
 “Darimana Bapak tahu nama saya? “ jawab Ucil terheran-heran.
    “Ha.. .ha. . .ha aku sudah lama mengamati kehidupanmu dengan sahabat-sahabatmu di Hutan Kedung Siluman. Maka segala sesuatu tentang dirimu dan masyarakatmu telah aku catat dan pelajari.. Perkenalkan aku Sang Pemimpin KOTA INDIES, dan disebelah kanan kiriku adalah Anggota Dewan Penasehat Agung Kota Indies.”  Jawab Sang Pemimpin..
    “Siapa nama Bapak dan apa Bapak pernah ke Kedung Siluman” tanya Ucil yang bertambah heran.
    “Warga Kota Indies memanggilku SANG PEMIMPIN dan untuk mempelajari masyarakatmu kami tidak perlu langsung ke Hutan Kedung Siluman. Kami bisa mengamati dari jarak jauh.  Coba, Cil, perhatikan dinding di depanmu. Akan kami perlihatkan hasil pengamatan kami tentang masyarakatmu ”  pinta Sang Pemimpin.
     Aneh, kehidupan sehari – hari Ucil telah tergambar di dinding itu, bagaimana dia tiap hari membantu emaknya atau kala dia bercengkerama dengan sahabat – sahabatnya. Bahkan perlawanan Ucil dengan Wiro Libas dari Hutan Cemoro Sewu. Tidak terlewatkan pula pertempuran Raja Rimba dengan Siluman Banaspati.

   “Bagaimana bapak mengetahui ini semua,  toh aku tidak pernah melihat Bapak di Kedung Siluman ? “ tanya Ucil.
   “Kami menggunakan kamera optik lorong waktu, sehingga setiap gerak=gerik kamu dan sahabat-sahabatmu terekam jelas “ papar Sang Pemimpin.
   “Lantas apa tujuan bapak melalukan ini semua ? “ tanya Ucil.
   “Pertanyaan yang bagus anak manis !.Memang engkau anak yang cerdas. Tujuan kami mengamati kehidupanmu, adalah selama bertahun-tahun bangsa kami berpetualang dari waktu ke waktu, baru kali ini bangsaku menemukan masyarakat yang tentram dan damal seperti masyarakatmu “ papar Sang Pemimpin.
   “Tapi kami adalah masyarakat yang bodoh. Dibanding disini kami sangat jauh, kami tidak punya mobil, kami hanya menunggang Sembrani atau  Gajah Sona “ jawab Ucil.
   “Berapa kamu bayar Sembrani dan Gajah Sona. Cil ?”  tanya salah satu Dewan Penasehat.
   “Tidak sama sekali “ jawab Ucil.
   “Itulah yang sedang kami pelajari, bentuk kehidupan masa lalu yang penuh dengan kebersamaan dan kebahagiaan, seperti di Kedung Siluman “ papar Sang Pemimpin.
   “Namun Bapak harus mengethui bahasa binatang “
   “Masalah bahasa kami tidak mengalami kesulitan, meski itu bahasa hewan. Kami telah mempelajari bahasa apa saja selama beribu-ribu tahun “ Jawab Ketua Dewan Penasehat Agung Kota Indies.
     “Lantas mengapa harus masyarakat Kedung Siluman  yang Bapak pe;lajari ?. Apa   
      tidak  
       ada masyarakat lainnya ? “ tanya Ucil.
   “Ketahuilah, anaku sayang !, . . .hampir setiap tahun dan sudah terjadi beratus tahun, penghuni Kota Indies terlibat perang satu dengan lainnya. Hingga sampai saat ini belum tercipta kedamaian seperti di Kedung Siluman. Untuk itulah kami mempelajari masyarakatmu “ jawab salah satu anggota Dewan Penasehat Agung Indies.
   “Ah. . .itu kan karena kewibawaan Si Raja Rimba. Mengapa bukan dia yang diundang kemari “ sahut Ucil dengan nada merendahkan diri.
   “Setelah kami pelajari dengan seksama, ternyata hanya engkau seorang yang memiliki bakat seorang pemimpin di masamu. bukan hanya untuk Hutan Kedung Siluman, tetapi untuk masyarakat luas di masamu nanti. Maka engkaulah yang kami undang “ tegas Sang Pemimpin.
   “Sang Pemimpin. ! Mohon maaf aku ingin pulang. Aku kangen sama emak “ seru Ucil sambil memelas.
  “Ha. . .ha….ha  jangan kuatir dengan emakmu, Cil !.  Menurut kamera lorong waktu, dia baik=baik saja, Sabarlah dulu Cil. Kalau sudah waktunya,  kamu akan dipulangkan “ jawab Sang Pemimpin sambil terus tertawa dan diikuti semua yang hadir di rapat.
  “Kapan waktunya aku pulang “
  “Mengertilah Cil.  Masyarakat di masamu nanti, sangat membutuhkan pemimpin seperti kamu. Oleh sebab itu kami Warga Kota Indies sepakat untuk memberimu bekal berbagai macam ilmu pengetahuan, termasuk jug abaca-tulis berbagai abjad yang ada di bumi. Hal ini sangat engkau butuhkan, sehingga nantinya kamu mampu menjadi pemimpin yang baik.
Oleh sebab itu bersabarlah, tinggalah engkau disini untuk beberapa tahun, setelah engkau pandai, kembalilah ke emakmu” papar Sang Pemimpin.
  “Beberapa tahun ? Oh aku tak sanggup “
  “Bersikaplah dewasa !, anaku. Semua niatan baik kami hanya semata-mata demi engkau dan masyarakatmu, Ada suatu masa di mana sahabat-sahabatmu akan dibantai oleh manusia tamak, guna kepentingan pribadi semata-mata “ jawab Sang Pemimpin,
    “Masalah waktu, kamu tidak usah khawatir, karena waktu di Kota Indies dengan       
       waktu
       di Kedung Siluman berbeda jauh. Emakmu tidak akan menunggu lama” seru Ketua Dewan  
      Penasehat Agung.
   Ah. . .aku tidak tahu ini semua. Tapi merekan orang – orang pandai. Apa salahnya bila aku menerima tawaran mereka, demikian bisik hati Ucil. Sehingga dia kini hanya mengangguk kecil pertanda setuju.
   Hari berganti minggu, bulan dan tahun. Genaplah dua tahun tujuh bulan Ucil menuntut ilmu di Kota Indies dengan system pendidikan yang modern dan dibimbing langsung oleh guru – guru yang pandai di bidangnya.
   Segala macam ilmu pengetahuan mulai dari Ilmu Sosial, Kepribadian, Ilmu Alam, Komputer Modern dan lainnya telah dikuasai Ucil.  Sehingga jadilah dia pemimpin yang disiapkan untuk jamannya.
   Setelah dianggap selesai misi para ahli Kota Indies, maka  Ucilpun dipersilakan kembali ke emaknya melalui lorong waktu.  Sekaligus Ucil juga dibekali  cara berkomunikasi dengan guru – gurunya dari Kota Indies, bila dia membutuhkan.
   Pagi hari waktu Kota Indies, Ucil dilepas secara resmi oleh  seluruh warga kota itu. Senyum ceria, Ucapan Selamat Tinggal dan peluk cium dia dapatkan dengan penuh haru. Kini kembalilah Ucil berkendaraan loromg waktu untuk pulang ke Kedung Siluman sama seperti kala dia berangkat.
   Tak berapa lama Ucil merasakan tubuhnya terpental dari lorong waktu, tepat di depan rumahnya. Dan kinipun dia biisa melihat langsung wajah emaknya. yang tersenyum gembira. Emaknyapun kini mencium pipi Ucil dengan penuh haru, disusul dengan tawa canda sahabat – sahabatnya yang mengelilinginya.
  “Syukurlah engkau selamat, Cil,  Setelah engkau tadi ditelan Banaspati “ seru emaknya yang mengucurkan air mata bahagia di pipinya,
  “Cil, engkau tidak apa – apa  ?. Syukurlah kalau begitu. Sekarang diamana Banaspati tadi?” seru Raja Rimba.
  “Entahlah, aku tidak tahu. . . mak, maafkan Ucil yang dua tahun lebih meninggalkanmu ya mak “ seru Ucil sambil terisak – isak.

“Kamu menghilang sejak tadi siang . Bukan dua tahun !. Engkau bicara apa , anaku ? “ seru emaknya’
“Dari tadi ! oh gak mungkin . Padahal aku belajar di Indies dua tahun, tapi itulah lorong waktu”  tutur Ucil.
 

HAMDI BEFFFANANDA AJI

Menari di Bulan



   Malam mulai menyelimuti Hutan Kedung Siluman. Disana sini terlihat berjejer pohon yang terbujur kaku..   Rembulan belum juga kelihatan, meski telah ditunggu kehadirannya oleh penghuni hutan ini, Tinggalah kini kegelapan yang menjadi penghantar tidur malam semua penghuni Hutan Kedung Siluman.
        Oh. . . gelap nian malam ini, pantas saja sahabat – sahabatku memilih tinggal di rumahnya masing – masing, ketimbang menemaniku disini, demikian bisik hati Ucil, sambil duduk di kursi bambu depan rumah. Sementara emaknya telah tidur lelap dari tadi sore, untuk melepas lelah setyelah sejak pagi tadi bekerja keras di kebonnya.
 Awan hitam perlahan terbawa angina malam yang mulai bertiup kencang.
Sehinggasemakin larut malam semakin bersih langit di atas Hutan Kedung Siluman.  Giliran bulan mulai menampakan dirinya dengan jelas wajahnya.
 Ucil yang terdiam duduk di kursi bambunya semakin kagum dengan munculnya
sang rembulan. Adakah hutan di bulan sana , seperti hutanku ? Adakah hewan – hewan yang hidup di sana seoerti sahabatku di sini ?. Adakah manusia yang tinggal di sana ?. Rasa kagumnya kini berganti dengan lamunan yang semakin kuat.
 Oh. . . andaikata aku bisa menjadi raja yang agung, akan kunaiki Rajawali Raksasa,
yang bisa aku naiki dan mengantarkan aku ke bulan. Aku akan berjalan – jalan di sana, aku akan berkenalan dengan hewan – hewan di hutan sana. Apakah mereka bisa beramah – tamah denganku seperti di Kedung Siluman.
“Bisa Cil, aku akan mengantarkan kau ke bulan sampai engkau puas “ seru sebuah suara.
Entah siapa dan darimana. Ucilpun terperanjat kaget mendengar suara yang belum ia kenal. Diapun menoleh kanan kiri. Rasa penasaran yang kuat mulai tertanam di hatinya.
“Siapa engkau ? Tunjukan dirimu . . . apakah engkau hantu ? “ teriak Ucil  ketakutan.
“Sekarang aku ada di sampingmu, jangan takut ! “
“Oh engkau seekor garuda. . .siapa namamu, apa engkau bermaksud jahat” desak Ucil.
      “Hooo. . . Ucil sahabatku ,  namaku adalah JATAYU  . Asalku tidak jauh dari sini,
akulah kendaraan  RAJA – RAJA JAWA.  Sama sekali aku tak bermaksud jahat, aku hanya ingin mengantar kau berjalan – jalan di bulan “
   “Mana mungkin engkau bisa “
   “Naiklah ke punggungku, aku akan mengantarkan kau ke sana “ jawab Jatayu  yang berusaha meyakinkan.
   “Lantas berapa lama  perjalanan ke sana, kasihan emaku dia akan mencariku “
   “Oh. . .tidak akan lama, aku janji ! “
   “Ah. . .aku masih tidak percaya “ seru Ucil.
   “Gimana aku bisa meyakinkan engkau ?. Coba saja Cil, naiklah ke punggungku, engkau akan ku ajak melintas angkasa, melintas jagad raya dan bisa melihat bumi dari bulan. Bukankah tadi engkau ingin ke bulan ? “ rayu Jatayu, yang semakin membuat Ucil tambah yakin.
    Ucil berpikir sejenak, karena perasaannya kini masih diliputi ketidakpercayaan, mana mungkin dia bisa membawaku terbang ke bulan ?. Jelas dia bohong !. Tapi bukankah dia Jatayu milik Raja Raja Jawa  Mana mungkin dia bohong ?. Atau ini hanya tipu muslihat ?.
   “Baiklah, Cil !, kalau kamu masih tidak percaya,  aku akan membawamu keliling Kedung Siluman, kalau engkau sudah percaya baru aku antar kau ke bulan. Nah. . . sekarang naiklah ke punggungku “  seru Jatayu  sambil merendahkan tubuhnya.
    Kini Ucil sudah berada di punggung Jatayu dan melesatlah Jatayu di angkasa Kedung Siluman..  Sungguh untuk Ucil,  peristiwa ini adalah pengalaman yang tak mungkin terlupakan. Meski dia  berada di punggung Jatayu dengan sayap yang mengepak, namun dia tidak merasakan goncangan apapun dan anehnya dia tidak merasakan hawa dingin angin malam seolah kejadian ini hanya mimpi belaka.
   “Bagaimana, Cil. Sekarang percaya padaku ?’”.
   “Baiklah Jatayu !, sekarang aku percaya “
   “Masih ingin ke bulan, Cil ?”
   “Tapi aku taku “
   “Sekarang kamu taku ngaak ?”
   “Tidak ,  Jatayu  ! “
   “Seperti inilah perjalanan ke bulan. Kamu nggak usah khawatir.  Tapi kalau kau takut pejamkanlah matamu “ pinta  Jatayu.
   “Tapi jangan lama – lama, nanti emaku mencari “
   “Baiklah aku janji, sekarang bersiaplah aku akan melesat ke atas “
Ucilpun hanya diam membisu, sambil memejamkan matanya dia merasakan tubuhnya terlempar ke atas. Entahlah apa yang terjadi saat itu, Ucilpun tidak tahu. Yang jelas dia tidak merasakan goncangan apapun. Tidak seperti bila menunggang Sembrani atau Si Belang.
   Lantaran rasa penasaran yang kuat, Ucilpin memberanikan diri untuk membuka kedua matanya.  Gelap semua yang ada disekelilingnya, sekali – kali dia menengok ke belakang. Perasaan takjub kini menggigapi hatinya., karena dia melihat bumi hanya sebesar bola besar berwarna biru. Apabila dia menghadap ke depan, bulanlah yang dia lihat dengan ukuran yang bertambah besar dan bertambah terang.
    Ibarat hanya sekejap mata, kini Ucil telah tiba di bulan., meski belum menapakan kakinya di permukaannya. Kini hanyalah keheranan yang ada di hatinya, mana hutan yang ia bayangkan. Mana taman bunga yang terang-benderang seperti di kota. Adakah    sahabat – sahabatku seperti di Kedung Siluman ?.
   “Cil, agar engkau puas akan aku ajak kau keliling bulan”
   “Terserah kamu saja, Jatayu
   “Setelah mengelilingi bulan, akan aku turunkan kamu di bulan”
   “Tapi aku takut, apa berjalan di bulan tidak membahayakan ? “  tanya Ucil.
   “Hoooo. . . jangan takut, percayalah padaku “ jawab Jatayu..
    Setelah puas mengelilingi bulan , Jatayu segera menukik turun menuju permukaan bulan yang terang. Hanya dalam waktu sekejap saja,  sampailah  Jatayu di permukaan bulan. Tanahnya berwarna kuning membara. Namun bagi Jatayu permukaan bulan yang seperti itu sama sekali tidak melukai kakinya. ketika dia menapakan kakinya. Maka Ucilpun dengan tidak ragu – ragu lagi segera menapakan kakinya di bulan.

   Meskipin permukaan bulan panas, namun Ucil tidak merasakan apa- apa. Bahkan lebih sejuk dibanding permukaan tanah di Kedung Siluman. Saat pertama Ucil berjalan di permukaan bulan, dia merasakan tubuhnya ringan sekali, entah dia sadar atau tidak sekarang tubuhnya melayang – laying. Hingga kini dia lebih berhati – hati.
   “Cil, jangan takut. Meskipun tubuhmu melayang. Diam saja dan jangan bergerak. Nanti tubuhmu akan meluncur sendiri ke permukaan.” Ujar Jatayu.
Benar saja penuturan Jatayu, maka dia kini dengan senang hati meloncat sekuat tenaga, hingga tubuhnya melayang jauh ke atas . Setelah cukup tinggi, dia tidak bergerak sama sekali, hingga tubuhnya pelan – pelan meluncur ke bawah dan kembali menyentuh tanah.
   Kadang pula Ucil mencari  tebing yang tinggi dan curam untuk dia loncati hingga  menapaki puncak tebing itu. Kemudian turun lagi dengan meloncat pula. Hingga baru kali ini dalam hidupnya , dia merasakan kegembiraan hatinya hingga lupa dengan emaknya di rumah,
   Bahkan dia kini menari – nari di permukaan bulan bersama Jatayu melampiaskan kegembiraan.  Kegembiraan inilah yang membuat Ucil lupa diri, bahwa dia sebenarnya menari di atas jurang yang curam dan dalam sekali.. Jurang itu memang tidak kelihatan, lantaran tertutup lapisan tanah bulan yang tipis sekali, yang kini diinjakUcil dan Jatayu yang menari bersama.
   Hingga suatu ketika terdengarlah suara gemuruh dan goncangan yang kuat , yang berasal dari tanah yang diinjak Ucil dan Jatayu , yang sedang asyik menari. Sudah barang tentu tubuh Ucil dan Jatayu kini meluncur ke bawah tanpa menemukan pegangan apapun.
   Ucilpun meronta – ronta untuk mencegah agar tubuhnya tidak jatuh ke bawah. Namun semakin dia meronta semakin cepat dia meluncur. Ucilpun bertambah panik, setelah kini dia tidak lagi melihat Jatayu. Satu – satunya sahabatnya yang bisa menolongnya.
   “Tolooong aku. . .tolong aku… Jatayu” teriak Ucil sekuat tenaga dengan tubuh yang masih meluncur ke bawah dan kini bertambah cepat.
   Meski berkali – kali dia minta tolong,  Jatayu tidak juga menampakan diri untu menolongnya. Karena di hatinya timbul rasa takut bukan – kepalang kuatnya. Ucilpun terus berteriak minta tolong.
    Hingga  akhirnya dia merasakan sentuhan tangan yang halus di pipinya dan menggoyang-nggoyangnya, tak lama diapun mendengar sayup suara emaknya.
   “Cil, bangun !. . engkau mimpi buruk, . .Bangunlah anaku ! “ teriak emaknya.
   “Tolooong  mak, aku jatuh ke jurang “ teriak Ucil.
   “Jurang mana, engkau bermimpi, anaku !. Lekas bangun ! “
   “Oh. . .syukurlah “
   “Sudahlah !, makanya kalau tidur di dalam , jangan di luar sini. Ayo sana masuk ke dalam “

         Tanpa berkata sepatah katapun, Ucil masuk ke kamar tidurnya yang sederhana diikuti emaknya. Yang jelas esok pagi masih ada kehidupan, masih ada pula cerita yang lain.

HAMDI BEFFANANDA AJI

Pemburu yang Jera


  Hutan Kedung Siluman terletak di lereng BUKIT TIDAR, terhampar di lembah yang cukup luas dan menyimpan keindahan alam yang memikat. Sejauh mata memandang hanya terlihat warna hijau yang terhampar luas, tempat para bidadari melepas lelah.  Sudah barang tentu di tempat yang seperti ini, hanyalah kedamaian hati yang akan kita temui.
   Karena masih utuh tanpa tersentuh tangan jahil, maka Hutan Kedung Siluman mampu menyimpan air sepanjang tahun. Terbukti dengan banyaknya kali yang mengalir dengan air yang bening. Bukankah tempat yang sejuk ini akan gampang memikat hati siapa saja yang melintas.
   Namun bagaimana jadinya bila daya tarik alam ini telah memikat hati manusia yang tamak hatinya. Tentunya bagi manusia seperti ini tidak akan tinggal diam. Dengan ringan hati mereka akan merusak keasliaan hutan ini dan akan memburu penghuninya, yang kesemuanya adalah sahabat Ucil.
   Adalah hak setiap manusia untuk memandang rendah penghuni Kedung Siluman, namun hal ini akan bermakna lain lagi, bila manusia yang tamak ini tahu, bahwa mereka semua adalah sama seperti kita  yang berguna untuk keseimbangan alam. Mereka juga memiliki rasa tolong-menolong, rasa hormat dan setia kawan seperti yang dibina Ucil selama ini,
Syahdan suatu ketika, Hutan Kedung Siluman  menerima tamu tak diundang. Sekelompok prajurit kraton SOSROYUDAN  yang dipimpin  RADEN  WIKALPO  berkemah di tepi Telaga Sewon Wono.  Mereka datang dengan perlengkapan yang komplit untuk berburu hewan apa saja. Melihat kawanan prajurit yang tegap dan bengis dengan senjata pedang, tombak dan panah, semua sahabat Ucil lari tunggang langgang karena takut.
Mereka saling mengaum, mencicit dan melolong sebagai tanda timbulnya rasa marah dan takut akibatulah-ulah manusia itu. Hari pertama mereka berburu telah memakan korban anak kijang yang terpanah kaki depannya, Untung saja kejadian ini tidak menelan korban jiwa. Namun apa jadinya dengan orang tua kijang itu. Mereka hanya bisa menggerutu dan tak lama kemudian mengajukan kepada Ucil.
Bukan hanya kedua orang tua  kijang itu saja, pemimpin=pemimpin kawananpun beramai-ramai mengajukan pebgaduan kepada Si Tarzan Kecil  ini. Sekaligus mendesak Ucil untuk mengadakan perlawanan. Karena sebenarnya mereka mampu melumpuhkan mereka. Meski mereka semua adalah prajurit terlatih
Kebetulan siang hari ini, Ucil sedang bermain dengan seruling kesayanganya.
 Memainkan kidung kidung indah. Suara seruling itu sayup terbawa angin kemarau yang    
       menimbulkan kesejukan di hati Si Tarzan Kecil.
    Spontan Ucil menghentikan tiupan serulingnya, ketika Kijang Perkasa dan Kijang Lelono sahabatnya datang menemuinya, untuk melaporkan bahwa salah satu anggota kawanan kijang luka dianiaya kawanan pemburu.
    Rasa geram kini timbul di hati Ucil setelah mendengar laporan dua kijang sahabatnya. Wajahnya merah padam, kedua tangannya mengepal kencang, seakan-akan dia kini berhadapan dengan pemburu itu. Seketika itu dalam hatinya Ucil timbul niatan untuk segera mengusir kawanan pemburu itu.
   “Elang sahabatku, !, kemarilah ! “  pinta Ucil
   “Baik Cil “ jawab Elang Mas.
   “Sebarkan anggota-anggotamu, carilah keterangan tentang pemburu itu dan suruhlah sahabat-sahabatku berkumpul disini “
   “Siapa saja sahabat-sahabatmu yang harus aku undang “
   Si Belang, Putih, Rajawali Perkasa, Kilat Menjangan, Rogo Branjangan, Naga Sanca , Gajah Sona, Beruang Hitam dan Sembrani
   “Kijang sahabatku, sekarang pulanglah. Rawatlah rakyatmu yang terluka. Bawalah rakyatmu mengungsi ke Bukit Langen Sari. Semoga engkau aman di sana.
   “Tereimakasih Cil, sekarang ini juga kami mohon diri. Sewaktu-waktu engkau membutuhkan aku, hubungi Elang Mas, pasti aku akan datang membantumu” seru Kijang Perkasa sambil melangkahkan kakinya meninggalkan Ucil.
   Matahari hampir tenggelam di kaki langit sebelah barat, tapi  sinarnya masih saja menerangi wajah bumi. Angin kemarau masih saja menyejukan udara Hutan Kedung Siluman.  Sementara itu, terlihatlah kawanan elang yang menembus awan putih yang semakin lama semakin jelas kelihatan.  Mereka itu adalah kawanan Elang Pengintai yang dipimpin Elang Mas  yang telah selesai malakukan tugas pengintaian.. Bersamaan dengan itu muncul pula jawara – jawara Kedung Siluman atas undangan Ucil. Sehingga saat itu juga terjadilah dengar pendapat antara mereka yang hadir .
   “Elang Mas. Posisi pemburu itu sekarang di mana “ tanya Ucil
   “Hari ini mereka berkemah di dekat Air Terjun TIRTAGUNA, setelah beberapa hari kemartin berkemah di pinggir Sewon Wono “ seru Elang Mas.
   “Berapa lama mereka berburu di Kedung Siluman “ tanya Si Belang.
   “Melihat perbekalan yang mereka bawa, setidak-tidaknya mereka berburu hingga beberapa minggu “
   “Dari mana pemburu – pemburu itu “ .  Rogo Branjangan bertanya dengan wajah tegang lantaran menahan marah.
   “Mereka adalah prjurin dari KRATON  SOSROYUDAN   yang dipimpin langsung oleh RADEN  WIKALPO. Putra Sulung sekaligus Putra Mahkota PRABU MARTOYUDAN..  Sedangkan maksud kedatangan mereka adalah untuk berburu hewan-hewan besar “ jawab Elang Mas.
    “Grrrr. . . mereka telah berbuat seenaknya. …tunggulah balasanku, Apa yangsebenarnya mereka cari ?” . Kembali Si Belang  bertanya.
   “Yang mereka cari sebenarnya adalah kulit harimau, gading gajah, tanduk menjangan serta kuku hewan-hewan besar “
   “Untuk apa benda – benda itu ? “ tanya Kilat Menjangan.
   “Benda – benda itu hanya untuk kebanggaan “
   “Baiklah sahabat – sahabatku, sebelum jatuh korban diantara kita . Marilah kita susun rencana untuk menjebak mereka. Kalian siap ?’ “ Seru Ucil.
   “Siaaaaaaap……..! “ serentak para jawara Kedung Siluman menjawab.
   “Kapan kita ke Tirtaguna, Cil ?. Aku sudah tak sabar “ seru Singo Ludiro.
   “Sekarang juga kita kesana “ pinta Landak Permata
   “Jangan biarkan mereka berbuat seenaknya, Cil !.  Aku dan Si Putih  siap melibas mereka, tinggal siap menunggu perintahmu “  seru Si Belang.

   “Malam ini juga kita berangkat ke Tirtaguna. Hanya Beruang Hitam saja yang sekarang sebaiknya kesana “ pinta Ucil.
   “Untuk apa Cil. . . tugasku apa “ sahut Si Hitam Beruang.
   “Ajaklah teman – temanmu, buatlah luas dan dalam tidak jauh dari tenda mereka, kalau bisa tepat di tengah jalan setapak. Usahakan jangan membuat kegaduhan. Mulailah bila hari sudah mulai petang. Aku yakin mereka sudah tak tahan menahan kantuk “ pinta Si Tarzan Kacil.
   “Sembrani  !, ajaklah kuda – kuda mereka untuk pergi meloloskan diri sejauhm mungkin “
   “Tapi aku tak bisa melepas ikatan kuda mereka “ jawab Sembrani.
   “Tak usah khawatir, untuk melepaskan ikatan kuda serahkan ke anak buah Rogo Branjangan “ jawab Ucil.
   “Lantas tugasku apa ?, Cil ! “ pinta Si Belang.
   “Mengaum sekeras mungkin untuk menakuti mereka, mulailah setelah aku perintahkan “
   “Aku belum mendapat tugas, Cil ! “  pinta Si Putih.
   “Tugasmu sama seperti Belang “ jawb Ucil.
   “Cil, Singo Brojo belum mendapatkan tugas. Aku dan rakyatku siap ,menjalankan tugas ! “ tutur Senopati Kedung Siluman.
   “Baiklah Senopati !, tugasmu menggiring larinya pemburu – pemburu itu menuj lubang yang telah dibuat sahabatku Beruang Hitam  dan kawan – kawannya. Kalian semua sudah saya beri tugas. Tengah malam nanti, kita berkumpul di sebelah barat Tirtaguna, tepatnya di Watu Pawon.

____________________ooooo____________________


   Berburu adalah pekerjaan yang sangat mengasyikan, sudah barang tentu bagi yang memiliki hobi ini.  Yang jelas bagi yang berhobi ini, apapun akan dilakukan hanya untuk melampiaskan kesenangan semata - mata.  Demikina juga dengan Raden Wikalpo  dan prajurit pengawalnya. Setelah seharian mereka berburu menjelajah Kedung Siluman, tiba saatnya kini mereka melepas lelah, karena hari hampir petang.
  Ditemani angin malam yang semilir dan dingin, masing – masing dari rombongan pemburu itu mulai merenda mimpi – mimpi indah. Meskipun Raden Wikalpo  telah menerapkan giliran jaga, namun rasa kantuk tak dapat ditolak. Hanya suasana di perkemahan itu ramai dengan suara dengkuran.
   Namun tiba-tiba mereka harus segera mengambil pososi bertahan dengan sikap kuda – kuda, meurut ilmu bela diri yang mereka miliki. Setelah mereka mendengar suara auman kawanan macan dan lolongan banyak srigala. Yang membuat hati mereka menjadi panik, bahkan sebagian besar dari mereka merasakan bulu kugul yang merinding.
   Semula mereka siap bertahan mati – matian menghadapi serangan hewan buas, karena mereka memang prajurit yang terlatih. Namun setelah suara hewan buas itu semakin dekat dan berjumlah banyak, maka tanpa dikomando mereka lari tunggang langgang menyelamatkan diri, di tengan keremangan malam.
   Karena dihinggapi perasaan yang sangat takut, mereka berlarian ke segala penjuru. Namun setiap mereka baru melangkah berapa puluh langkah mereka telah dihadang singa yang siap menerkam. Sehingga mereka akhirnya memilih jalur yang aman secara bersama – sama, termasuk juga R. Wikalpo.
   Namun tiba -  tiba mereka merasakan berlari di tanah kosong dan jatuh bergulingan dalam lobang yang besar dan dalam. Serentak mereka berteriak kaget dan sebagian lainnya mengerang kesakitan.  Karena lubang tempat mereka jatuh sangat gelap, sehingga apa daya mereka semalam hanya bisa berteriak minta tolong dan mengerang kesakitan.   
Mereka bertambah panik karena diatas mereka telah berkeliaran hewan – hewan ganas yang saling mengaum dan melolong mengerikan..
   “Siapa yang ada di atas sana tolonglah aku ! “ teriak Raden Wikalpo.
   “Tolooong. . . tolong. . .” teriak para prajurit silih berganti.

   Remang – remang kini mereka sudah bisa meliohat bibir lubang, karena fajar telah datang. Namun kini mereka bertambah pucat wajahnya, lantaran di bibir lobang telah berjejer hewan – hewan buas yang siap menerkam mereka. Tak lama kemudian Ucil menampakan diri di tengah kerumunan hewan buas tadi.
   Sontak mereka berebut minta tolong pada bocah kecil yang belum mereka kenal. Sebagian mereka terheran – heran dengan pemandangan yang aneh ini.  Sehingga Raden Wikalpo  mencoba untuk menegur – sapa dan sekaligus minta tolong kepada bocah kecil itu.
  “Siapa engkau hai bocah kecil, engkau manusia atau hantu, bisakah kau menolongku ? “ jawab Raden Wikalpo.
  “Aku Ucil,  aku bukan hantu, aku manusia biasa seperti engkau. Percuma saja kau naik ke atas, Binatang ini akan siap menelanmu “ tutur Si Tarzan Kecil.
  “Sekali lagi aku minta tolong, singkirkan hewan – hewan itu. Aku ingin tetap hidup. Bila engkau bisa menolongku, silakan engkau bisa tinggal di istana bersamaku ! “ sahut Raden Wikalpo.
  “Untuk apa aku tinggal di istana, disinilah istanaku, aku telah berbahagia di sini. Aku mau menolongmu asal kau berjanji padaku “ pinta Ucil.
  “Katakan saja apa permintaanmu ?”
  “Sederhana saja, tinggalkan Hutan Kedung Siluman dan jangan kembali lagi untuk berburu. Meskipun mereka hewan, mereka juga seperti kita yang ingin hidup damai. Berjanjilah padaku maka aku akan memberimu tali” tutur Ucil.
  “Baiklah Cil, aku berjanji “
  “Apa bisa dipercaya janjimu ? “
  “Aku Raden Wikalpo Putra Mahkota  Kerajaan Sosroyudan, Putra Prabu Mertoyudan.  Pantang aku berbohong, biarlah semua prajuritku yang menjadi saksi “
   Ucilpun tak ragu – ragu mengulurkan tali  dan kini mereka naik satu – persatu. Akhirnya mereka selamat dan kembali ke kraton, setelah mengucapkan terimakasih dan selamat tinggal pada Ucil. Yang penting mereka tidak akan pernah lagi memburu sahabat Ucil.

HAMDI BEFFANANDA AJI