Jumat, 10 Februari 2012

Kakek dan Sepatu Hitam


Kakek bercerita kepadaku tentang pengalamanya ketika masih sekolah  SD dahulu.  Kakek mulai bercerita dengan segelas kopi kental yang menemaninya : Ketika aku mulai menapaki masa sekolah dasar  tepatnya pada tahun 1974, aku hanya memiliki seutas cita- cita yang merasuki sumsum tulangku, sebuah- cita- cita mendambakan sesuatu yang menurut ukuran manusia sekarang adalah sebuah barang yang umum, murah dan sepele, yaitu sebuah sepatu hitam, mengkilat dan sebuah perasaan  gagah bila aku memakainya. Dari mulai kelas 1  hingga kelas V SD, aku menyaksikan sendiri betapa terbelakangnya anak anak Indonesia kala itu, karena tidak ada satu siswapun yang mengenakan sepatu. Keadaan itu juga aku saksikan pada teman sekolah lainya, termasuk juga pada  kakak kelasku anak anak kelas VI SD, meskipun mereka duduk di tahun terakhir  sekolah dasar.
Semua teman-temaku kala itu selalu beranggapan bahwa sepatu hitam mengkilat, adalah lambang “anak orang kaya” bagi siapa yang memakainya, karena betapa gagahnya mereka bila mengenakanya. Sedangkan kala itu  orang tua kami belum memiliki kesadaran akan  kegunaan sepatu untuk anaknya yang bersekolah. Begitu juga teman teman kami merasa bebas bila sekolah tak bersepatu, mereka selalu membayangkan betapa repotnya bila bersekolah dengan mengenakan sepatu. Rasa takut terjadinya luka lecet, berat untuk melangkah dan tidak bisa lincah untuk bermain “kasti”.
Suatu hari kebetulan seorang teman mengajaku pulang berdua berjalan kaki usai pelajaran. Tidak seperti biasanya hari itu dia pulang tidak dijemput sopir pribadi bapaknya. Biasanya saban hari dia pulang pergi ke sekolah naik mobil sedan merek “Opel “ warna putih cemerlang. Saban hari aku hanya bisa memandang, dan membayangkan ”Oh betapa gagahnya bila dia keluar masuk mobil mewah itu dengan bersepatu hitam mengkilat”.  Namun karena sesuatu hal, dia terpaksa berjalan kaki sejauh hampir 5 km di tengah terik matahari.
“Oh betapa repot dan sakit kakinya” .Bayangan yang mengerikan selalu hadir di hatiku sepanjang perjalanan menuju rumahnya, yang kebetulan tidak jauh dari rumahku.
***
Matahari bersinar demikian garangnya, aspal hitam yang mengering dan mulai berlobang di sana sini ikut juga memanas dan mampu membuat nyeri kulit telapak kaki bagi yang menginjaknya. Meski telapak kakiku sudah menebal karena terbiasa  tanpa alas kaki ke manapun aku pergi. Tetapi saat itu, kakiku terasa terbakar terkena aspal yang menghangat digoreng panasnya sinar matahari. Maka aku lebih baik memilih menyelusuri jalan tanah yang terhapar sepanjang tepi aspal jalan. Namun temanku, Bismo tanpa merasakan sedikitpun rasa nyeri, berjalan dengan gagahnya menginjak aspal yang disedu matahari. Suara “prok...prok...prok “ dari setiap langkahnya menambah kegagahanya.
2
Sekali aku sempat menanyakan “Apa tidak pegal dan nyeri telapak kakimu ?”. Bimo menjawabnya dengan menggelengkan kepalanya sambil terus tersenyum. Terbesit dalam hatiku untuk meminta bapak membelikan aku sepatu seperti Bimo nanti bila aku naik kelas VI SD.
Bapak hanya tersenyum cerah mendengar permintaanku, “Kan bapak sudah berniat membelikan kamu sepatu sejak kamu naik kelas V SD, tapi kamu tidak mau. Lihatlah bapak kalau ke kantor pakai sepatu, gagah kan ?”.
“Terimakasih, ya pak !!!” aku melonjak kegirangan mendengar jawaban bapak.
“Tapi dengan satu syarat ?”
“Syarat apa, pak !”
“Kamu harus dapat rangking dan naik kelas enam “
“Ya, pak !”
Setelah itu akupun mengurangi waktu main,  agar aku bisa  belajar sungguh-sungguh demi sepatu kulit hitam, yang siang dan  malam sudah aku angankan. Tentunya semua temanku di sekolah nantinya akan berdecak kagum melihat sepatuku. Akupun tidak merasa kakiku akan nyeri lagi bila berjalan kaki pulang sekolah. Aku bisa berjalan dengan gagah seperti Bimo, meskipun bapaku tidak punya mobil. “Ah betapa senangnya bila aku memiliki sepatu”, berkali kali  kata hatiku muncul di mana saja aku berada.
Kakek sebentar menghentikan ceritanya, kopi kental yang ada di meja depan direguknya,  sehingga kini tinggal separo gelas. “Terus gimana kek !, kakek jadi punya sepatu ?” .Aku sudah tidak sabar mendengarkan kisah sepatu hitam kakek, yang kala itu masih dianggap barang langka dan berharga. Kakek kembali meneruskan ceritanya : Karena aku terlalu keras belajar, bahkan sering susah tidur membayangkan sepatu hitam yang baru, akupun jatuh sakit, sehingga aku harus ikut susulan tes kenaikan kelas.
Akupun bertambah sedih, karena aku naik kelas enam tanpa rangking, semua pujian teman temanku yang aku tunggu kini tidak terdengar. Bapakupun merasa sedih dengan sakitku, meskipun kini di ruang perawatan rumah sakit telah ada sepatu  hitam baru yang mahal harganya dan mengkilat, kini masih tersimpan rapat di kardusnya. Bapak sengaja membelikan sepatu itu agar aku cepat sembuh. Tapi aku masih belum puas, karena teman temanku tidak ada yang memuji karena sepatu baruku dan kenaikanku yang penuh prestasi.
Karena sakitku tidak kunjung sembuh, bapak dan ibu menjadi khawatir. Maka pada suatu sore bapak dengan penuh lembut, menasehatiku:
“Berlian !, cepat sembuh ya !, tidak baik mengharapkan pujian orang lain ?”
3
“Tapi Berlian malu,pak !. Berlian tidak masuk rengking !, untuk apa sepatu itu !”
“Kamu jangan salah paham apa yang bisa memakai sepatu hanya anak anak yang masuk rangking ?. Tidak Berlian !, sepatu dipakai setiap orang,  termasuk kalau kamu sudah duduk  di SMP, adalah untuk keselamatan, kesopanan dan kerapian, bukan untuk gagah-gagahan. Tanpa rangkingpun bapak sudah merencanakan membelikan kamu sepatu. Sebab tahun depan kamu sudah masuk SMP dan diwajibkan memakai sepatu. Mengerti, Berlian ?”
“Aku pengin seperti Bimo, pak !, yang kelihatan gagah kalau berjalan di sekolah !”
“Makanya cepat sembuh, nanti di kelas enam kamu akan lebih gagah dari Bimo, cepat sembuh ya !”. Aku hanya mengangguk kecil dan aku teringat betul nasehat bapak tentang sepatu hitam itu, bukan alat untuk menyombongkan diri.
Sekarang aku tidak tahu lagi, apa kakek sudah selesai bercerita atau akan disambung lagi dengan cerita lain, karena hari sudah pagi, saatnya aku bersiap masuk sekolah.***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar