Kakek bercerita
kepadaku tentang pengalamanya ketika masih sekolah SD dahulu.
Kakek mulai bercerita dengan segelas kopi kental yang menemaninya :
Ketika aku mulai menapaki masa sekolah dasar tepatnya pada tahun 1974, aku hanya memiliki seutas
cita- cita yang merasuki sumsum tulangku, sebuah- cita- cita mendambakan
sesuatu yang menurut ukuran manusia sekarang adalah sebuah barang yang umum,
murah dan sepele, yaitu sebuah sepatu hitam, mengkilat dan sebuah perasaan gagah bila aku memakainya. Dari mulai kelas
1 hingga kelas V SD, aku menyaksikan
sendiri betapa terbelakangnya anak anak Indonesia kala itu, karena tidak ada
satu siswapun yang mengenakan sepatu. Keadaan itu juga aku saksikan pada teman
sekolah lainya, termasuk juga pada kakak
kelasku anak anak kelas VI SD, meskipun mereka duduk di tahun terakhir sekolah dasar.
Semua teman-temaku kala
itu selalu beranggapan bahwa sepatu hitam mengkilat, adalah lambang “anak orang
kaya” bagi siapa yang memakainya, karena betapa gagahnya mereka bila mengenakanya.
Sedangkan kala itu orang tua kami belum
memiliki kesadaran akan kegunaan sepatu
untuk anaknya yang bersekolah. Begitu juga teman teman kami merasa bebas bila
sekolah tak bersepatu, mereka selalu membayangkan betapa repotnya bila
bersekolah dengan mengenakan sepatu. Rasa takut terjadinya luka lecet, berat
untuk melangkah dan tidak bisa lincah untuk bermain “kasti”.
Suatu hari kebetulan
seorang teman mengajaku pulang berdua berjalan kaki usai pelajaran. Tidak seperti
biasanya hari itu dia pulang tidak dijemput sopir pribadi bapaknya. Biasanya
saban hari dia pulang pergi ke sekolah naik mobil sedan merek “Opel “ warna
putih cemerlang. Saban hari aku hanya bisa memandang, dan membayangkan ”Oh
betapa gagahnya bila dia keluar masuk mobil mewah itu dengan bersepatu hitam
mengkilat”. Namun karena sesuatu hal,
dia terpaksa berjalan kaki sejauh hampir 5 km di tengah terik matahari.
“Oh betapa repot dan
sakit kakinya” .Bayangan yang mengerikan selalu hadir di hatiku sepanjang
perjalanan menuju rumahnya, yang kebetulan tidak jauh dari rumahku.
***
Matahari bersinar
demikian garangnya, aspal hitam yang mengering dan mulai berlobang di sana sini
ikut juga memanas dan mampu membuat nyeri kulit telapak kaki bagi yang
menginjaknya. Meski telapak kakiku sudah menebal karena terbiasa tanpa alas kaki ke manapun aku pergi. Tetapi
saat itu, kakiku terasa terbakar terkena aspal yang menghangat digoreng
panasnya sinar matahari. Maka aku lebih baik memilih menyelusuri jalan tanah
yang terhapar sepanjang tepi aspal jalan. Namun temanku, Bismo tanpa merasakan
sedikitpun rasa nyeri, berjalan dengan gagahnya menginjak aspal yang disedu
matahari. Suara “prok...prok...prok “ dari setiap langkahnya menambah
kegagahanya.
2
Sekali aku sempat menanyakan
“Apa tidak pegal dan nyeri telapak kakimu ?”. Bimo menjawabnya dengan
menggelengkan kepalanya sambil terus tersenyum. Terbesit dalam hatiku untuk
meminta bapak membelikan aku sepatu seperti Bimo nanti bila aku naik kelas VI
SD.
Bapak hanya tersenyum
cerah mendengar permintaanku, “Kan bapak sudah berniat membelikan kamu sepatu
sejak kamu naik kelas V SD, tapi kamu tidak mau. Lihatlah bapak kalau ke kantor
pakai sepatu, gagah kan ?”.
“Terimakasih, ya pak
!!!” aku melonjak kegirangan mendengar jawaban bapak.
“Tapi dengan satu
syarat ?”
“Syarat apa, pak !”
“Kamu harus dapat
rangking dan naik kelas enam “
“Ya, pak !”
Setelah itu akupun
mengurangi waktu main, agar aku bisa belajar sungguh-sungguh demi sepatu kulit
hitam, yang siang dan malam sudah aku angankan.
Tentunya semua temanku di sekolah nantinya akan berdecak kagum melihat
sepatuku. Akupun tidak merasa kakiku akan nyeri lagi bila berjalan kaki pulang
sekolah. Aku bisa berjalan dengan gagah seperti Bimo, meskipun bapaku tidak
punya mobil. “Ah betapa senangnya bila aku memiliki sepatu”, berkali kali kata hatiku muncul di mana saja aku berada.
Kakek sebentar
menghentikan ceritanya, kopi kental yang ada di meja depan direguknya, sehingga kini tinggal separo gelas. “Terus
gimana kek !, kakek jadi punya sepatu ?” .Aku sudah tidak sabar mendengarkan
kisah sepatu hitam kakek, yang kala itu masih dianggap barang langka dan
berharga. Kakek kembali meneruskan ceritanya : Karena aku terlalu keras
belajar, bahkan sering susah tidur membayangkan sepatu hitam yang baru, akupun
jatuh sakit, sehingga aku harus ikut susulan tes kenaikan kelas.
Akupun bertambah sedih,
karena aku naik kelas enam tanpa rangking, semua pujian teman temanku yang aku tunggu
kini tidak terdengar. Bapakupun merasa sedih dengan sakitku, meskipun kini di
ruang perawatan rumah sakit telah ada sepatu
hitam baru yang mahal harganya dan mengkilat, kini masih tersimpan rapat
di kardusnya. Bapak sengaja membelikan sepatu itu agar aku cepat sembuh. Tapi
aku masih belum puas, karena teman temanku tidak ada yang memuji karena sepatu
baruku dan kenaikanku yang penuh prestasi.
Karena sakitku tidak
kunjung sembuh, bapak dan ibu menjadi khawatir. Maka pada suatu sore bapak
dengan penuh lembut, menasehatiku:
“Berlian !, cepat
sembuh ya !, tidak baik mengharapkan pujian orang lain ?”
3
“Tapi Berlian malu,pak
!. Berlian tidak masuk rengking !, untuk apa sepatu itu !”
“Kamu jangan salah
paham apa yang bisa memakai sepatu hanya anak anak yang masuk rangking ?. Tidak
Berlian !, sepatu dipakai setiap orang,
termasuk kalau kamu sudah duduk di
SMP, adalah untuk keselamatan, kesopanan dan kerapian, bukan untuk
gagah-gagahan. Tanpa rangkingpun bapak sudah merencanakan membelikan kamu
sepatu. Sebab tahun depan kamu sudah masuk SMP dan diwajibkan memakai sepatu. Mengerti,
Berlian ?”
“Aku
pengin seperti Bimo, pak !, yang kelihatan gagah kalau berjalan di sekolah !”
“Makanya
cepat sembuh, nanti di kelas enam kamu akan lebih gagah dari Bimo, cepat sembuh
ya !”. Aku hanya mengangguk kecil dan aku teringat betul nasehat bapak tentang
sepatu hitam itu, bukan alat untuk menyombongkan diri.
Sekarang aku tidak tahu
lagi, apa kakek sudah selesai bercerita atau akan disambung lagi dengan cerita
lain, karena hari sudah pagi, saatnya aku bersiap masuk sekolah.***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar